Tanya :
Kalau lupa bayar zakat fitrah, hukumnya seperti apa? Apakah bisa diganti?
Jawab :
a. Batas Waktu Akhir Zakat Fitrah
Sebelumnya perlu dipahami dulu batas waktu akhir zakat fitrah, sehingga akan menjadi jelas bahwa orang yang lupa membayar zakat fitrah artinya adalah lupa membayar sampai melewati batas akhir itu.
Batas waktu terakhir (nihayatu waqtin) mengeluarkan zakat fitrah menurut kami adalah shalat Idul Fitri, bukan tenggelamnya matahari pada hari Idul Fitri. Barangsiapa mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Idul Fitri, zakatnya diterima. Sedang barangsiapa mengeluarkan zakat fitrah setelah shalat Idul Fitri, maka itu hanya dianggap sedekah, tidak dianggap zakat fitrah. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 319; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz 2, hal. 339, mas`alah no. 718).
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طُهْرَةً للصائم من اللغو والرَّفَث وطُعْمةً للمساكين ، من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
“Rasulullah SAW telah memfardhukan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor dan juga sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat [Idul Fitri] maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikan zakat fitrah itu setelah shalat [Idul Fitri] maka itu satu shaqadah dari shadaqah-shadaqah.” (HR Abu Dawud, no 1609; Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi. Juga diriwayatkan dan disahihkan oleh Al-Hakim (1/409), dan disetujui oleh Adz-Dzahabi). (Lihat Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 317; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/139).
Berdasarkan dalil di atas, jelaslah bahwa batas waktu pembayaran zakat fitrah adalah pelaksanaan shalat Idul Fitri. Barangsiapa yang belum membayar zakat fitrah tanpa udzur hingga shalat Idul Fitri, dia berdosa dan kewajiban zakat fitrah itu tidak gugur dari orang itu. Zakat fitrah itu menjadi hutang yang tetap wajib dibayarnya sesudah itu. Dengan kata lain, orang tersebut wajib meng-qadha` zakat fitrahnya walau pun telah lewat dari waktu yang ditentukan.
Pendapat yang kami anggap kuat (rajih) dalam hal batas akhir zakat fitrah ini memang berbeda dengan pendapat jumhur (Malikiyah, Hanabilah, Syafi’iyah), yaitu batas akhir zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari raya Idul Fitri. Jadi, menurut jumhur zakat fitrah tetap sah walaupun dibayar sesudah shalat Idul Fitri hingga datangnya waktu maghrib pada hari Idul Fitri atau pada tanggal 1 Syawal. Hanya saja, ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memandang makruh mengeluarkan zakat fitrah sesudah shalat Idul Fitri. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/906-908; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh’ Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1/425; Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 62).
Namun pendapat jumhur ini tidak dapat diterima, karena dalilnya lemah. Dalil ulama jumhur adalah hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda :
أغنوهم عن الطلب في هذا اليوم
Aghnuuhum ‘an ath-thalab fi haadza al-yaum
“Cukupilah mereka [orang-orang miskin] dari minta-minta pada hari ini [Idul Fitri].” (HR Ad Daruquthni, 2/153, Al-Baihaqi, 4/175). (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/908; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 317).
Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani hadits tersebut lemah (dhaif), karena dalam sanad hadits tersebut ada perawi yang lemah, yaitu perawi bernama Abu Ma’syar (dalam riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi) dan Muhammad bin Umar al-Waqidi (dalam riwayat Ibnu Sa’ad dalam Thabaqah-nya). (Nashiruddin Al-Albani Mukhtashar Irwa` Al-Ghalil, 1/62, hadis no 844; Irwa’ Al-Ghalil, 3/332, hadis no 844). Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menegaskan kedhaifan isnad hadits Ibnu Umar dalam riwayat Ad-Daruquthni, karena ada perawi bernama Muhammad bin Umar Al-Waqidi. (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/138). Dalam kitab Al-Majmu’ (6/126), Imam An-Nawawi juga telah menjelaskan kedhaifan hadits di atas dengan berkata :
(و(أما) حديث (اغنوهم عن الطلب في هذا اليوم) فرواه البيهقي باسناد ضعيف
“Adapun hadits “Cukupilah mereka [orang-orang miskin] dari minta-minta pada hari ini”, ia diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan isnad dhaif.” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 6/126).
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits di atas adalah dhaif sehingga tidak layak menjadi hujjah (dasar hukum) bagi jumhur ulama bahwa batas akhir zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari Idul Fitri. Yang benar, batas akhir zakat fitrah adalah shalat Idul Fitri, bukan tenggelamnya matahari pada hari Idul Fitri.
Dari sini dapat diketahui, bahwa lupa membayar zakat fitrah artinya adalah lupa membayar hingga terlampauinya batas akhir zakat fitrah, yaitu shalat Idul Fitri, bukan tenggelamnya matahari pada hari Idul Fitri atau datangnya waktu maghrib pada hari Idul Fitri.
b. Wajib Mengqadha` Zakat Fitrah Bagi Orang Yang Lupa
Orang yang lupa melaksanakan zakat fitrah tidak berdosa, karena lupa (an-nisyan) merupakan salah satu udzur syar’i yang menggugurkan dosa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW :
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku [dosa karena] tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Ibnu Majah, no 2033; Ibnu Hibban, no 7342; Ath-Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no 1414).
Namun kewajiban zakat fitrah itu tidak gugur dari orang yang lupa membayarnya dan dia tetap wajib mengqadha` zakat fitrah itu. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/908). Kewajiban mengqadha` zakat fitrah itu didasarkan pada kaidah fikih berikut sebagaimana dikemukakan Imam Ash-Shan’ani :
الجاهل والناسى حكمها في الترك حكم العامد
Al-Jaahilu wa an-naasi hukmuhaa fi at-tarki hukm al-‘aamid
“Orang yang tidak tahu hukum, atau orang yang lupa, hukumnya dalam meninggalkan [kewajiban] sama dengan orang yang sengaja.” (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 1/55).
Kaidah di atas mengandung pengertian bahwa dalam hal meninggalkan suatu kewajiban (tarkul wajib), orang yang lupa atau tak tahu hukum, sama hukumnya dengan orang yang sengaja meninggalkan kewajiban itu. Sama hukumnya di sini maksudnya adalah sama dalam hal tidak gugurnya suatu kewajiban yang ditinggalkan. Jadi, suatu kewajiban tidaklah gugur, baik bagi orang yang lupa mengerjakannya, atau yang tidak tahu hukum, atau yang sengaja meninggalkannya.
Karena itu, orang yang lupa berzakat fitrah, wajib mengqadha`-nya, yakni kewajibannya tidak gugur dan tetap wajib membayarnya walau sudah lewat dari waktu yang ditentukan. Contoh lainnya, orang yang lupa shalat, wajib mengqadha`-nya. Demikian pula orang yang lupa membayar utang, atau lupa memberi nafkah kepada isteri-anak, atau lupa membayar gaji pegawainya, tetap diwajibkan membayar kewajiban-kewajiban itu. Demikian pula orang yang lupa membasuh kaki dalam wudhu dan baru ingat setelah selesai shalat, maka dia wajib mengulangi wudhu dan shalatnya. Perempuan yang lupa menutup rambutnya secara sempurna sehingga tak tertutup sempurna, dan baru tahu setelah selesai shalat, wajib menutup rambutnya secara sempurna dan mengulangi shalatnya. Demikian seterusnya.
Kaidah fikih yang semakna dengan kaidah di atas dikemukakan pula oleh Imam Izzuddin bin Abdis Salam sebagai berikut :
من نسي مأمورا به لم يسقط بنسيانه مع إمكان التدارك
Man nasiya ma`muuran bihi lam yasquth bi-nisyaanihi ma’a imkaan at-tadaaruk
“Barangsiapa lupa akan sesuatu yang diperintahkan, tidaklah gugur perintah itu karena dia lupa jika masih memungkinkan untuk dapat dikerjakan secara susulan.”(Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/3, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1999).
Imam Izzudin bin Abdis Salam menerangkan, bahwa sesuatu yang diperintahkan (kewajiban/kesunnahan) yang ditinggalkan karena lupa itu ada dua macam. Pertama, yang tidak dapat disusul (laa yaqbal at-tadaaruk), seperti jihad, sholat Jumat, sholat gerhana, shalat rawatib, dan shalat jenazah. Kewajiban atau kesunnahan jenis pertama ini, gugur dengan lewatnya waktu. Kedua, yang dapat disusul (yaqbal at-tadaaruk), seperti sholat, zakat, puasa, nadzar, utang, kaffarah, dan nafkah kepada isteri. Kewajiban jenis kedua ini tidak gugur dengan lewatnya waktu. (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/3).
Berdasarkan kaidah fikih di atas, orang yang lupa membayar zakat fitrah tetap wajib membayar zakatnya walaupun sudah melewati batas akhir yang ditentukan.
Kesimpulan
Orang yang lupa membayar zakat fitrah, tidak berdosa namun wajib mengqadha` zakatnya itu. Dengan kata lain, kewajiban zakat fitrah itu tidak gugur darinya dan tetap wajib dibayarkan walaupun sudah melewati batas waktu akhir yang ditentukan (yaitu shalat Idul Fitri). Wallahu a’lam.